Jazirah Arab dalam Sejarah (Bag. 6): Kepercayaan dan Agama Bangsa Arab
Setelah membahas keadaan politik bangsa Arab, kini kita akan menelusuri keyakinan dan bentuk ibadah mereka sebelum datangnya Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah fase penting dalam sejarah, karena dari sinilah akar-akar penyimpangan akidah menyebar di jazirah Arab.
Sisa-sisa tauhid setelah Nabi Isma’il
Mayoritas penduduk Arab di masa hidup Nabi Isma’il ‘alaihissalām mengikuti dakwah beliau. Nabi Ismail menyerukan untuk mengikuti agama bapaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Isi agamanya adalah menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan beragama dengan agama Ibrahim (tauhid). Setelah berlalu masa yang lama, penduduk Arab melupakan ajaran-ajaran Nabi Ibrahim dan tersisa ajaran tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim.
Setelah itu, datanglah masa Amr bin Luhay (عمرو بن لحي), seorang pemimpin kabilah Khuzā’ah. Amr dibesarkan di lingkungan yang baik. Ia adalah orang yang gemar bersedekah dan semangat dalam urusan agama. Akhirnya orang-orang mencintainya dan patuh kepadanya karena menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang mulia.
Awal mula kesyirikan: Pengaruh Amr bin Luhay
Pada suatu saat, Amr bin Luhay bepergian ke daerah Syam. Di sana, ia melihat orang-orang yang menyembah berhala-berhala. Amr menganggap perbuatan orang-orang tersebut baik dan menyangka itu kebenaran. Ia beralasan bahwa Syam adalah tempat diutusnya para Nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Alhasil, ia pun membawa berhala Hubal (هبل) ke Mekah dan meletakkannya di dalam Ka’bah. Ia mengajak penduduk Mekah untuk menyekutukan Allah dan masyarakat pun menerima ajakannya.
Berhala tertua di jazirah adalah Manah (مناة) yang terletak di Musyallal (المشلل) di pesisir laut merah dekat dengan Qudaid (قديد). Kemudian mereka membuat berhala Lat (اللات) di Thaif (الطائف), lalu ‘Uzza (العزى) di Wadi Nakhlah (وادي نخلة). Inilah tiga berhala terbesar penduduk Arab. Kemudian kesyirikan semakin banyak dan berhala-berhala pun ada di setiap tempat di Hijaz.
Dikisahkan bahwa Amr bin Luhai memiliki qarin dari bangsa jin yang mengabarkannya bahwa berhala kaum Nabi Nuh, yaitu Wad (ود), Suwa’ (سواع), Yaghuts (يغوث), Ya’uq (يعوق), Nasr (نسر) terpendam di Jeddah (جدة). Amr pun pergi ke sana, lalu menggali dan mengambilnya, kemudian membawa berhala-berhala itu ke Tihamah (تهامة). Saat musim haji tiba, ia memberikan berhala-berhala itu kepada kabilah-kabilah. Akhirnya, masing-masing kabilah membawa berhala-berhala itu ke daerah mereka masing-masing. Dengan demikian, setiap kabilah terdapat berhala, bahkan setiap rumah terdapat berhala di dalamnya.
Penduduk Mekah memenuhi Masjidil Haram dengan berhala-berhala. Disebutkan bahwa saat Rasulullah menaklukkan kota Mekah, di sekeliling Ka’bah terdapat 360 berhala. Kemudian berhala-berhala tersebut diruntuhkan, lalu dikeluarkan dari area Masjidil Haram untuk dibakar. Demikianlah, kesyirikan dan penyembahan kepada berhala menjadi fenomena besar pada agama penduduk jahiliah, yang mereka klaim adalah agamanya Nabi ibrahim.
Tradisi ritual penyembahan berhala
Penduduk Arab jahiliah memiliki tradisi dan ritual penyembahan berhala yang mayoritasnya diada-adakan oleh Amr bin Luhay. Masyarakat mengira hal-hal yang diada-adakan oleh Amr bin Luhay adalah inovasi yang baik dan tidak mengubah agama Nabi Ibrahim.
Di antara ritual penyembahan berhala mereka adalah mereka berdiam di sisi berhala dan berlindung kepadanya, memanggil-manggilnya, meminta pertolongan kepadanya di saat sulit, dan berdoa kepadanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara kepada Allah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka. Mereka juga berhaji kepada berhala, mengelilinginya, merendahkan diri di sisi berhala, dan bersujud kepada berhala.
Ritual lainnya adalah mereka mendekatkan diri kepada berhala dengan berbagai jenis kurban. Mereka menyembelih baik dengan cara dzabh (menyembelih dengan memutus urat leher) maupun nahr (menyembelih dengan menusuk pangkal leher unta) kepada berhala dan menyebut nama berhala-berhala tersebut. Inilah jenis penyembelihan yang disebutkan oleh Allah Ta’ālā dalam Al-Qur’an,
وَما ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Dan (janganlah kamu memakan) apa yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Di antara ritual pendekatan diri kepada berhala yang mereka lakukan adalah mereka mengkhususkan makanan-makanan dan minuman-minuman untuk berhala sesuai yang mereka kehendaki. Demikian pula mereka mengkhususkan sebagian hasil panen dan ternak mereka kepada berhala. Ajaibnya, mereka juga mengkhususkan bagian untuk Allah; namun karena banyak alasan lain, mereka memindahkan bagian untuk Allah kepada berhala. Anehnya, mereka tidak pernah memindahkan bagian untuk berhala kepada Allah dalam kondisi apapun. Allah Ta’ālā berfirman,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعامِ نَصِيباً، فَقالُوا هذا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهذا لِشُرَكائِنا، فَما كانَ لِشُرَكائِهِمْ فَلا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ، وَما كانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلى شُرَكائِهِمْ، ساءَ ما يَحْكُمُونَ
“Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu.” (QS. Al-An’am: 136)
Di antara bentuk pendekatan mereka kepada berhala adalah bernazar dalam hasil panen dan ternak. Allah Ta’ālā menghikayatkan di dalam Al-Qur’an,
وَقالُوا هذِهِ أَنْعامٌ وَحَرْثٌ حِجْرٌ لا يَطْعَمُها إِلَّا مَنْ نَشاءُ بِزَعْمِهِمْ، وَأَنْعامٌ حُرِّمَتْ ظُهُورُها، وَأَنْعامٌ لا يَذْكُرُونَ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا افْتِراءً عَلَيْهِ
“Dan mereka berkata (menurut anggapan mereka), “Inilah hewan ternak dan hasil bumi yang dilarang, tidak boleh dimakan, kecuali oleh orang yang kami kehendaki.” Dan ada pula hewan yang diharamkan (tidak boleh) ditunggangi, dan ada hewan ternak yang (ketika disembelih) boleh tidak menyebut nama Allah, itu sebagai kebohongan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas semua yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am: 138)
Istilah Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami
Mereka juga menetapkan istilah Sa’ibah (السائبة), Bahirah (البحيرة), Washilah (الوصيلة), dan Hami (الحامي).
Sa’ibah adalah unta betina yang sudah melahirkan sepuluh unta betina berturut-turut dan tidak diselingi dengan unta jantan. Setelah unta tersebut melahirkan sepuluh unta betina, ia dijadikan Sa’ibah (dibiarkan bebas). Sa’ibah tidak boleh ditunggangi, dicukur bulunya, dan diambil susunya kecuali oleh tamu. Jika setelah itu ia melahirkan unta betina lagi, maka anak yang kesebelas itu dibelah telinganya dan juga dibiarkan bebas sebagaimana induknya. Inilah yang disebut Bahirah.
Washilah adalah kambing betina yang telah melahirkan sepuluh anak betina berturut-turut tanpa diselingi anak jantan dalam lima kali kelahiran. Mereka menyatakan, “kambing itu sudah tersambung”, maka disebut Washilah. Aturannya, jika status kambing telah menjadi Washilah, anak kambing yang dilahirkan setelah itu adalah milik kaum lelaki saja. Kaum wanita tidak boleh memilikinya. Hanya saja, jika anak kambing itu mati, maka boleh dimakan oleh lelaki dan wanita.
Hami adalah unta pejantan yang telah membuntingi unta-unta betina kemudian melahirkan sepuluh unta betina secara berturut-turut tanpa diselingi unta jantan. Maka punggungnya terjaga, tidak boleh ditunggangi, bulunya tidak boleh dicukur, dan ia dibiarkan bebas di antara kawanannya untuk bisa mengawini unta-unta lainnya. Ia hanya bisa dimanfaatkan untuk hal tersebut.
Ini adalah salah satu dari penafsiran makna dari Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami. Terkait dengan Sa’ibah, Bahirah, Washilah, dan Hami, Allah Ta’ālā berfirman,
ما جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سائِبَةٍ، وَلا وَصِيلَةٍ، وَلا حامٍ، وَلكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَأَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ
“Allah tidak pernah mensyariatkan Bahīrah, Sā’ibah, Washīlah, atau Hāmi; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Ma’idah: 103)
Penduduk Arab melakukan ritual-ritual itu semua untuk berhala-berhala mereka karena meyakini bahwa berhala-berhala tersebut dapat mendekatkan mereka kepada Allah dan memberikan syafaat di sisi Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ālā,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ما لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ، وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memberi mudarat dan tidak pula manfaat bagi mereka. Dan mereka berkata, ‘Mereka adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah.’” (QS. Yunus: 18)
Betapa jauhnya masyarakat jahiliah menyimpang dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim ‘alaihissalām. Tidak hanya setiap rumah memiliki berhala, tetapi seluruh aspek kehidupan mereka dipenuhi penyimpangan. Namun, ritual penyembahan berhala ini hanyalah satu dari bentuk kesesatan mereka. Masih ada penyimpangan-penyimpangan lain yang akan kita bahas pada artikel selanjutnya, insya Allah.
[Bersambung]
***
Penulis: Fajar Rianto
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Disarikan dari Kitab ar-Rahīq al-Makhtūm karya Syekh Shafiyurrahmān Al-Mubārakfūri dengan sedikit perubahan.
Artikel asli: https://muslim.or.id/108221-jazirah-arab-dalam-sejarah-bag-6.html